KEADILAN SAHABAT MENURUT AHLUSSUNAH
Kelompok Ahlussunah bersepakat bahwa seluruh sahabat adalah orang yang adil. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, tidak ada yang berselisih pendapat tentang hal ini kecuali segelintir ahli bidah, maka wajib bagi Muslimin untuk meyakini sikap sahabat tersebut karena telah ditetapkan bahwa, seluruh sahabat adalah ahli surga, tak seorang pun dari mereka yang akan masuk neraka. Yang dimaksud sahabat adalah setiap sahabat dalam pengertian yang telah disebutkan pada penjelasan definisi sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar di atas.
Dalil yang Dipergunakan Ahlussunah
Al-Khatib mengatakan bahwa keadilan tiap sahabat telah ditetapkan oleh Allah melalui penjelasan tentang kesuciannya, dan mereka adalah orang-orang pilihan Allah. Di antara dalil yang menyatakan keadilan mereka ialah ayat, Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik, (QS al-Baqarah: 11) dan ayat, an demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang), melainkan agar Kami mengetahui (dengan nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (memindah kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia (QS al-Baqarah: 143). Juga ayat, Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang berada dalam hati mereka, lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan atas mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya), (QS al-Fath: 18).
Dan ayat, Di antara orang-orang Arab badui yang di sekelilingmu itu ada orang-orang munafik, dan (juga) di antara penduduk Madinah. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan pada azab yang besar (QS at-Taubah: 101). Juga ayat, Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu (QS al-Anfal: 64), dan ayat, (juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya), dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka, dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, "Ya, Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS al-Hasyr: 8-10), dan juga ayat, Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan 'Salam' kepadamu: "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS an-Nisa: 94), serta pada ayat-ayat lain. Ditambah pula dengan keterangan pada berbagai hadis masyhur dalam jumlah yang banyak.
Pengertian Adil Menurut Ahlussunah
Yang dimaksud dengan adilnya seorang sahabat ialah sebagaimana yang dimaksud dalam arti keadilan sahabat itu sendiri; yakni setiap orang yang sezaman dengan rasulullah saw; dilahirkan pada zaman Rasulullah, tidak pernah berdusta atau menipu, dan -karena itu- tidak diperbolehkan menyakitinya meskipun ia telah membunuh beribu-ribu orang dan berbuat mungkar.
Dengan dasar penjelasan semacam itu maka orang-orang Umawiyyin seperti Abu Sufyan dan putra-putranya, atau orang-orang Bani Marwan yang pernah diusir oleh Rasulullah saw dari kota Madinah serta putra-putranya, juga Mughirah bin Abi Syu'bah dan Abdullah, putranya yang masih berumur sepuluh tahun saat Rasulullah wafat, dikatakan juga sebagai penyampai riwayat dari Rasulullah saw. Riwayat dari mereka ini kemudian terkumpul dalam lembaran yang diberi nama ash-shadiqah. Mereka semua dikenal sebagai orang-orang yang adil dan riwayat dari mereka digolongkan sahih meskipun telah melukai hati dan jasmani Ali bin Abi Thalib beserta para Ahlulbait, bahkan meskipun hadis itu mengagung-agungkan dan menyucikan Abdurrahman bin Muljam.
Riwayat-riwayat itu harus diterima karena perawinya dianggap sebagai orang adil, yang berarti -orang adil itu- tidak akan berdusta. Orang-orang yang menjadi pengikut Mu'awiyah selama tiga puluh tahun kekuasaannya pun, misalnya, dikatakan sebagai orang-orang yang berada dalam kebenaran dan hidayah Allah. Begitu pula dengan orang-orang yang meracuni Hasan bin Ali, yang membunuh Husain bin Ali beserta para sahabatnya, serta orang-orang yang berbuat kriminal di negeri Kufah, dan seterusnya, juga disebut sebagai orang-orang yang berada pada jalan kebenaran dan petunjuk Allah. Mereka berdalil dengan sebuah perkataan Rasulullah saw, "Sahabat-sahabatku adalah bagaikan bintang. Kepada siapa saja hendaklah kalian meminta petunjuk dan mengikuti mereka." Padahal, hadis tersebut telah dianggap dhaif oleh ulama ahli hadis sehingga tidak dapat dijadikan hujjah (bukti). Bahkan Ibnu Taimiyyah menganggap hadis ini sebagai hadis cacat.
Balasan bagi Orang yang tidak Sependapat dengan Pendapat Ahlussunah
Pendapat Ahlussunah menyatakan, "Apabila kamu melihat seorang laki-laki melemahkan salah seorang sahabat Rasulullah saw, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya ia adalah kafir, dan orang-orang yang melemahkan secara mutlak salah seorang sahabat Rasulullah saw, maka mereka juga orang-orang kafir dan patut dianiaya. Siapa saja yang mencela dan mengatakan bahwa para sahabat itu lemah, maka tidak diperbolehkan untuk memberikan perlindungan, bermusyawarah, dan menyalati mereka.
Sebenarnya, apa rahasia di balik sikap keras Ahlussunah ini? Mereka berdalil: Rasulullah adalah haq, Al Quran adalah haq, apa yang dibawa oleh Rasulullah adalah sesuatu yang haq, dan yang menyampaikan -ajaran Rasulullah- itu semua kepada kita adalah para sahabat. Maka, siapa pun yang melemahkan para sahabat sebenarnya mereka ingin menghapus al Quran dan Sunah. Karena itu, mereka patut dianiaya, dan mereka adalah kafir.
Sebagai Pengingat
Yang dimaksud dengan sahabat oleh Ahlussunah adalah sebagaimana yang dimaksudkan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam definisinya mengenai sahabat, yang dimulai dari Khadijah, Ali, Zaid bin Haritsah, Abu Bakar, hingga anak kecil terakhir yang sempat melihat atau dilihat Rasulullah. Agar lebih jelas, pembaca dapat kembali melihat alasan tentang definisi sahabat menurut Ibnu Hajar itu, seperti telah kami jelaskan.
Usaha untuk Mengurangi Pendapat yang Berlebihan
Al-Maruzi berkata dalam kitabnya, Syarah al-Burhan, "Kita tidak bermaksud mengatakan bahwa setiap sahabat yang adil adalah mereka yang pernah dilihat oleh Rasulullah meskipun sehari, atau orang yang mengunjunginya walaupun hanya sekilas, atau orang yang berkumpul dengan beliau untuk suatu keperluan kemudian pergi begitu saja. Tetapi, yang kami maksud adalah mereka yang mematuhi Rasulullah, melindungi, memberikan pertolongan, dan mengikuti cahaya yang diturunkan kepada beliau. Mereka itulah orang-orang yang berada dalam kemenangan.
Pengingkaran terhadap Pendapat al-Maruzi
Alasan pengingkaran terhadap pernyataan al-Maruzi ialah karena pendapat itu keluar dari pendapat mayoritas. Paling tidak, al-Maruzi membatasi sahabat sebagai orang-orang yang rela menginfakkan dan berjuang bersama Rasulullah saw. Pendapat semacam ini tidak disepakati, bahkan dikecam oleh sekelompok ulama. Syaikh al-Alani, misalnya, berkata, "Pendapat ini adalah pendapat yang aneh, dan bertentangan dengan riwayat yang masyhur tentang sahabat dan riwayat-riwayat yang menyatakan tentang keadilan beberapa sahaabt, seperti Wail bin Hajar, Malik bin Huwairits, dan Utsman bin Ash, serta sahabat-sahabat lain yang pernah diutus untuk mengunjungi Rasulullah. Pendapat ini juga bertentangan dengan kenyataan mengenai keberadaan seorang sahabat yang hanya meriwayatkan satu hadis dan tidak diketahui berasal dari kabilah Arab yang mana. Jumhur Ulama sepakat untuk mengikuti keumuman definisi sahabat, dan pendapat inilah yang banyak diakui.
Pengaruh dari Keumuman Definisi Sahabat
Dampak yang muncul dari keumuman definisi sahabat tersebut ialah: timbulnya persamaan yang mengacaukan. Setiap sahabat, menurut Ahlussunah, dianggap mempunyai persamaan dalam hal sifat adil mereka, yakni, semua sahabat dinyatakan sebagai orang adil. Jika demikian halnya, maka seorang pemimpin akan sama seperti pejuang biasa. Begitu juga, tidak akan berbeda antara orang yang pandai dengan yang bodoh, yang memeluk Islam karena keinginan tulus dengan yang memeluk Islam sekadar untuk menyelamatkan jiwa, yang masuk Islam lebih awal dengan yang belakangan, yang mengeluarkan infak dengan penerima infak, orang taat yang bermaksiat, orang dewasa dengan anak kecil, yang berperang demi Islam dengan yang memerangi Islam.
Sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, yang selalu berjuang demi agama Islam pun akan sama dengan Abu Sufyan, yang menjadi pemimpin dalam setiap peperangan melawan Islam, dan akan sama dengan Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Hamzah yang seorang sayyidusysyuhada (penghulu para syahid) tak beda seperti orang yang membunuhnya, Wahsyi. Juga Utsman bin Affan yang telah dijanjikan surga akan tidak berbeda dengan pamannya, Hakam bin Ash, ayah dari para khalifah Bani Umayyah, padahal Allah telah melaknatnya dan melaknat putranya. Atau juga Abu Bakar, akan sama saja dengan Abdullah bin Abi Sarh, yang mendustai Allah dan murtad dari agama Islam dan yang dihalalkan darahnya oleh Rasulullah meskipun ketika ia sedang bergelantung pada kain penutup Ka'bah. Dan Ammar bin Yasir pun akan disamakan dengan pemimpin kaum munafikin seperti Abdullah bin Ubay.
Dan begitulah seterusnya, pendapat yang rancu itu menyebarkan dampak yang membingungkan dan membius kaum Muslimin. Pendapat ini seolah begitu kukuh dengan mengatakan, "Bagaimana mungkin berbeda sementara mereka semua adalah sahabat Nabi dan mereka semua adalah orang adil yang akan masuk surga, tak seorang pun dari mereka yang akan masuk neraka."
Pertanyaan dan Jawaban
Apakah masuk akal jika, orang alim sama seperti orang bodoh, dan orang yang masuk Islam dengan tulus sama seperti yang masuk Islam hanya karena rasa takut terancam jiwanya? Apakah masuk akal jika dikatakan bahwa, pembunuh tidak berbeda dengan yang dibunuh? Apakah sama orang yang masuk Islam lebih dahulu dengan yang belakangan; orang yang berinfak dengan yang menahan hartanya; orang yang bermaksiat dengan yang taat; orang yang benar-benar beriman dengan yang hanya berpura-pura beriman; orang mukmin dengan orang munafik? Apakah logis jika Mu'awiyah disamakan dengan Ali. Dan seterusnya.
Tak satu pun dari syariat dan argumentasi akal yang menerima persamaan semacam ini. Sesungguhnya, menyamakan mereka merupakan sikap yang zalim, dan upaya pencampuradukan seperti itu menunjukkan sikap keluar dari akal sehat, yang tidak dapat diterima oleh fitrah manusia yang sehat.
Kritik terhadap Pendapat Ahlussunah
Persamaan dan Perbedaan Pendapat
Dalam melihat makna sahabat, secara bahasa dan istilah, para pengikut Islam (golongan-golongan Muslimin) bersepakat bahwa istilah sahabat mencakup orang-orang yang masuk Islam dan menampakkan keislamannya, juga orang-orang yang sempat mendengar Rasulullah, duduk bersama beliau, atau menyaksikan beliau. Sedangkan perbedaan di antara mereka terletak pada keumuman makna sahabat.
Ahlussunah mengartikan sahabat dengan makna yang luas, yakni bahwa semua sahabat adalah orang-orang yang adil. Tetapi golongan Muslim lain tidak mengakui dan tidak sependapat dengan pendapat Ahlussunah dalam memberikan predikat adil kepada semua sahabat itu.
Usaha untuk Mempertemukan Pendapat yang Berbeda
Pengertian sahabat, secara luas, menurut Ahlussunah ialah seluruh penduduk yang hidup pada zaman daulah Rasulullah saw. Dengan kata lain, sahabat adalah seluruh umat Islam yang tunduk pada daulah Rasulullah saw. Mereka adalah golongan pertama yang di-khittab dan yang diceritakan dalam al-Quran, dan merekalah yang pertama kali menerapkan aturan-aturan Allah dalam kehidupan. Siapa saja yang mengumumkan keislamannya, dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, maka ia dianggap sebagai seorang Muslim dan penduduk daulah Rasulullah. Dengan alasan, hanya Allah yang mengetahui apa yang tersembunyi di balik mata dan dalam hati manusia, dan hanya Dia yang dapat memastikan keislaman seseorang, maka Rasulullah cukup melihat lahirnya saja dan menyerahkan sisi batiniah umatnya kepada Allah SWT.
Akhlak seorang Muslim akan berpengaruh bagi masa depannya dan berpengaruh pula bagi masyarakat Muslim yang lain. Akhlak juga turut menentukan sikap seseorang terhadap keimanan atau kekufuran. Adalah wajar jika Rasulullah saw tidak mengatakan kepada orang munafik dengan perkataan, "kamu munafik", tetapi, justru Rasulullah saw memilih berdoa kepada Allah agar menutup segala aib, memperbaiki dan memberikan hidayah kepada umatnya. Kita pun mengetahui bahwa ayat-ayat Al-Quran banyak bercerita tentang munafikin yang tersebar di Madinah dan kota Arab lainnya. Ayat-ayat al Quran telah membongkar apa yang ada dalam hati beserta rencana-rencana mereka. Ayat-ayat ini juga memberikan petunjuk jalan keluar dalam menghadapi mereka dalam kehidupan nyata. Ayat-ayat ini melukiskan pula bagaimana keadaan tiap-tiap individu di zaman Rasulullah, sebagaimana banyak dikatakan orang bahwa tidak semua dari mereka itu berhati tulus.
Syariat Islam telah memberikan aturan yang gamblang mengenai amal-amal perbuatan baik yang mencerminkan ketakwaan, juga amal perbuatan buruk yang menampakkan kemungkaran. Bagi mereka yang mempunyai akhlak tertentu yang mencerminkan salah satu dari kedua sikap yang berlawanan itu, maka hal itu juga akan menjadi cerminan akan kehidupan kemasyarakatannya. Oleh sebab itu, Rasulullah saw tak pernah kunjung selesai melakukan perlawanan terhadap segala bentuk kemunafikan dan kekafiran selama hidupnya.
Dalam tabiat manusia keyakinan seseorang akan tecermin dalam sikap kesehariannya. Catatan sejarah menunjukkan bahwa saat wafat Rasulullah adalah sebuah kunci pembuka segala rahasia. Tiap-tiap individu dalam daulah Islamiyah Rasulullah menjadi saksi bagi tingkat ketakwaan dan keburukan antara satu orang dengan yang lain. Sebagian dari mereka mengetahui kadar kesungguhan iman dari sebagian yang lain.
Sementara itu, masyarakat Muslim, khususnya yang hidup di kota Madinah, semua termasuk sahabat, baik menurut definisi secara bahasa maupun istilah. Tetapi siapa yang menyangka bahwa mereka, ternyata, membuat makar terhadap Allah. Mungkin, inilah makna dari pepatah yang mengatakan, "Segala perkara tergantung dari hasil akhirnya."